Dipenghujung 1980-an, penggusuran dan perampasan dibanyak tempat telah memunculkan berbagai kelompok solidaritas untuk masyarakat/rakyat yang tergusur dan terampas hak-hak dasarnya diantaranya adalah kelompok perempuan untuk solidaritas Badega (KPSB) yang mengadakan demonstarasi untuk mendukung perjuangan rakyat petani Badega – Purwakarta. Bersamaan waktu dengan berdirinya kelompok tersebut, juga lahir Kelompok Kerja Solidaritas Perempuan (KSP) yang melakukan investigasi dan pembelaan kasus-kasus Pulau Panggung-Lampung, Sugapa-Sianipar Sumatera Utara dan Sugapa tahun 1989. Pada waktu itu, kelompok solidaritas tersebut hadir secara spontan dengan struktur organisasi yang sederhana, bersifat sementara dan lebih banyak dibimbing oleh spirit voluntarisme (kesukarelaan). Bentuk aktivitasnya meliputi mulai dari pengumpulan fakta-fakta di lapangan hingga melancarkan aksi-aksi protes secara terbuka. Fokus sasarannya secara umum diarahkan pada satu agenda utama pada waktu itu yaitu penguatan perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah-tanah garapannya. Disadari bahwa aksi organisasi yang seperti itu sifatnya spontan, jangka pendek, dan terbatas, sehingga perlu dibangun secara sistematis. . Telah terbukti bahwa aksi yang sifatnya spontan tidak akan membawa hasil yang signifikan. Permasalahan penggusuran, kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM memiliki dimensi yang sangat kompleks dan bercorak struktural.